Sabtu, 12 Mei 2012

Seribu Malam Untuk Muhammad

"Apakah yang lebih besar daipada iman?" kata sosok Muhammad dalam mimpiku. Ia tersenyum menatapku, tetapi entah bagaimana aku tahu sesungguhnya ia sedang agak bersedih.

 "Aku tak tahu," kataku. Tenggorokanku serasa sangat kering. Terik matahari menyengat - aku  berada di sebuah tempat yang kering dan tandus. Bukan padang pasir, tapi sebuah tempat yang belum pernah kulihat dan kuketahui sebelumnya

Tiba - tiba, aku ingin melihat sosok itu... dan ia tersenyum tulus ke arahku. Aku melihat seorang lelaki dengan wajah agung dan bercahaya. Ini semacam cahaya yang aneh yang justru tak membuatku merasa sialu - tapi teduh. Kulitnya bersih, bdannya tidak kurus juga tidak gemuk, wajahnya tampan, bola matanya hitam jernih, bulu matanya lentik, alis matanya panjang bertautan.

Sekali lagi dia tersenyum. Senyum yang sanggup membuatku melupakan rasa haus dan panas yang membakar kulitku. "Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman?" katanya seperti mengulang pertanyaan pertamnya.

 "Aku tak tahu,"  aku menjawabnya dengan kata - kata yang sama.

 Lalu memberiku minuman. Ia seolah tahu bahwa tenggorokanku terasa menyempit, haus yang hampir membakar rongga mulutku. Ia menyodorkan sebuah cawan berisi air yang dingin dan jernih... "Minumlah," katanya, "kau sangat membutuhkannya." Lagi - lagi, ia tersenyum.       

Aku pun segera meminumnya. Ada dingin yang mengalir di tenggorokanku, megalir menjadi damai di hatiku, membebaskan sel - sel hidupku yang sempit. Aku merasakan air itu mulai menghidupkan lagi sel - sel yang mulai mati di tubuhku - aku merasakan kesegaran yang membebaskan, sesuatu yang membuat matahati dan pikiranku begitu terbuka. Lalu langit meredup-teduh, awan diarak pelan - pelan, angin menerbangkan helai - helai daun yang kering, rumput - rumput bersemi, bunga - bunga mekar - wewangian yang membebaskan segala bentuk penderitaan.

 Lalu kutatap lagi sosok lelaki yang tampak agung itu : Muhammad. "Kebaikan," katanya tiba - tiba, "melebihi apapun, adalah yang paling utama dari semuanya. Aku menyebutnya, ihsan."

Seketika, langit hening, bumi hening. Dan lelaki itu melemparkan senyumnya sekali lagi, lalu membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan sebuah salam perpisahan. Pelan -pelan ia melangkah pergi, menjauh meninggalkanku.

Apakah yang lebih besar daripada iman? Bisik hatiku. Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman? Aku menatap punggung Muhammad yang menjauh... terus menjauh. Kebikan? Barangkali inilah kebaikan, kataku dalam hati, budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membuatmu merasakan kebahagiaan  yang membebaskan dan kau takkan pernah rela ditinggal pergi olehnya.

Entah mengapa ada perasaaan sedih yang teramat dalam saat ia meniggalkanku di tempat itu sendirian. Aku benar - benar  tak rela melepasnya pergi... aku menatap punggungnya dan memanggilnya kembali dengan mata rinduku, tetapi ia terus menjauh.. menjelma sunyi, meninggalkanku         
      

Sementara jutaan muslim mendambakan dengan Muhammad yang mulia dalam mimpi mereka, mungkinkah seorang pemuda non-muslim yang terpilih? Mungkinkah seorang pendosa bermimpi berjumpa dengan sang manusia maha manusia? 

 Demikianlah ia mendapat pengalaman mimpi itu, mimpi yang begitu menyentakkan, sesuatu yang terlampau suci bagi dirinya namun tak sanggup ia tolak.

Sejak malam itulah ia memutuskan untuk melakukan pencarian...Ada sebagian dari dirinya yang terbawa oleh sosok lembut Muhammad yang hadir dalam mimpinya-menjadi semacam getar yang terus menerus memanggil, berdenyar dalam hatinya, dan ia ingin kembali menemukannya...

 Inilah pencarian itu, Seribu Malam Untuk Muhammad   



Sumber : Buku Seribu Malam Untuk Muhammad hal 7 - 9, dan Cover belakang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar