POLISI menangkap dua orang yang diduga perampok, tetapi untuk dapat
membuktikan tuduhannya dia minimal harus mendapatkan pengakuan atau
kesaksian salah satunya. Maka dua orang terduga tersebut ditempatkan di
dua sel tahanan sementara yang terpisah, kepada masing-masingnya polisi
sampaikan; “Bila kamu mau bersaksi untuk temanmu bahwa dia perampoknya
dan dia mengakuinya, maka dia dihukum 20 tahun dan kamu bebas”.
Kemudian
si polisi melanjutkan; “Tetapi kemungkinannya, dia juga akan bersaksi
terhadap kamu – dan kamu tidak akan bisa mengelak karenanya. Jadi kalian
akan dihukum masing-masing 10 tahun.”
Maka kemudian masing-masing terduga perampok
tersebut berfikir: “Bila saya tidak bersaksi terhadap dia, sedangkan dia
bersaksi terhadap saya – saya akan dihukum 20 tahun sendirian. Bila
saya bersaksi terhadap dia dan dia tidak bersaksi terhadap saya – dia
yang akan dihukum 20 tahun sendirian dan saya bebas. Kalau saya bersaksi
terhadap dia dan dia juga bersaksi terhadap saya, hukuman saya maksimal
10 tahun.”
Pada saat yang bersamaan kedua perampok berfikir
untuk kepentingan dirinya sendiri: “yang paling aman bagi saya adalah
bersaksi terhadap teman saya, sehingga hukuman saya maksimal 10 tahun
dan bahkan bisa bebas bila dia tidak bersaksi balik terhadap saya.”
Keduanya-pun
bersaksi terhadap yang lain dan masing-masing dihukum 10 tahun penjara.
Kedua orang yang menjadi terpidana ini dalam ekonomi disebut korban
tragedy of the commons, yaitu ketika masing-masing orang berusaha
memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri – maka justru tidak akan
ada yang memperoleh keuntungan maksimal!
Untuk dua orang tersebut
sebenarnya keuntungan maksimalnya bila keduanya diam, tidak akan cukup
bukti bagi polisi untuk membawanya ke tingkat hukuman – karena mereka
hanya terduga awalnya.
Begitulah dalam kehidupan sehari-hari
kita, tragedy of the commons terjadi dalam segala bidang dan segala
kesempatan. Beberapa pekan lalu kita menyaksikan tragedy of the commons
dalam skala yang kolosal yaitu ketika puluhan juta orang mudik lebaran.
Semua orang ingin mendahului yang lain sehingga yang terjadi justru
kemacetan yang luar biasa. Perlu dua hari dua malam untuk menempuk jarak
Jakarta Semarang – padahal seharusnya cukup 8 jam saja.
Operator-operator
telepon seluler masing-masing harus mengeluarkan biaya yang sangat
besar, karena bila tidak melakukannya mereka kawatir pangsa pasarnya
pindah ke operator yang lain – mereka adalah korban tragedy of the
commons!
Anak-anak sekolah merasa tidak cukup dengan pelajaran
sekolahnya, mereka membanjiri bimbingan-bimbingan belajar agar tidak
kalah bersaing untuk memperebutkan kursi pendidikan lanjutannya – mereka
korban tragedy of the commons.
Teman saya seorang Doktor yang
lugu dan polos, menulis sms panjang lebar ke seluruh teman-temannya di
musim pemilu legislatif 2009 lalu. Intinya minta bantuan agar
teman-temannya mau saweran mendanai kampanye pencalonannya menjadi
anggota legislatif. Dia seorang Doktor peneliti yang jujur, tetapi harus
mengumpulkan uang bermilyar untuk kampanye. Mengapa? Dia adalah korban
tragedy of the commons – bila tidak melakukannya kawatir tidak terpilih,
karena yang lain konon melakukannya semua!
Hampir keseluruhan
permasalahan ekonomi seperti mahalnya harga beras, menipisnya cadangan
energi fosil, global warming, mahalnya biaya hidup dlsb. bisa dijelaskan
dengan teori tragedy of the commons tersebut di atas.
Yang
menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana agar kita bisa terhindar
dari menjadi korban tragedy of the commons ini, atau bahkan bagaimana
kita bisa mencegah terjadinya tragedy of the commons di masyarakat
sehingga tidak ada yang menjadi korban karenanya? Banyak jalan untuk
itu, di antaranya adalah;
• Berhukum pada hukum yang adil. Di
Islam misalnya ada larangan menimbun, membanting harga, berlebih-lebihan
dalam segala hal dlsb. bila diikuti akan menghindarkan terjadinya
tragedy of the commons.
•Membangun competency di atas rata-rata. Ini
bisa dilakukan oleh para siswa, para caleg dlsb. bila mereka bener-bener
unggul – mereka tidak harus mengikuti cara pesaingnya dalam
memperebutkan kesempatan.
•Membangun strategy yang totally different.
Ini bisa dilakukan perusahaan telekomunikasi untuk membangun dan
mempertahankan komunitasnya – tanpa harus jor-joran dalam iklan. Bisa
pula ditempuh pemudik yang menghindari peak season.
•Membangun
komunikasi antar pelaku atau pemilik kepentingan, misalnya kalau dua
orang terduga tersebut dalam contoh di atas bisa berkomunikasi satu sama
lain – maka keduanya bisa bebas.
•Aturan atau kesepakatan yang
dijalankan bersama di masyarakat, seperti budaya antri yang dibangun
oleh pemerintah Singapore dengan membangun sarana antrian di seluruh
tempat umum.
• Dlsb.
Lebih jauh lagi dalam Islam sebenarnya
banyak sekali ajaran yang bila diikuti akan menghindarkan terjadinya
tragedy of the commons ini. Perilaku itsar atau mendahulukan kepentingan
orang lain dari kepentingan sendiri misalnya, bila ini dibudayakan di
masayarakat akan luar biasa dampaknya.
Di Singapora di mana
penduduk Muslimnya jauh lebih sedikit ketimbang penduduk yang beragama
lain, bisa kita saksikan dimana-mana di tempat umum ada pagar-pagar besi
untuk antrian. Anda bisa saksikan ini mulai dari lapangan terbang,
pergi ke daerah perkantoran, ke daerah pertokoan, daerah wisata –
semuanya ada tempat untuk mengantri.
Di negeri ini di mana
penduduk Muslimnya mayoritas dan luar biasa banyaknya, sangat jarang
kita jumpai tempat antrian. Mengapa? Mungkin kita merasa tidak perlu
antri? Ketika budaya itsar itu belum tumbuh, sedangkan aturan di
masyarakat juga belum ada – maka yang terjadi adalah tragedy of the
commons every where! Wa Allahu A’lam.
Sumber : http://zilzaal.blogspot.com/2012/09/tragedy-of-commons.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar