9. Mengucapkan salam kepada wanita
yang bukan mahram atau wanita asing.
Sebagian ulama melarang
seorang laki-laki memberikan salam kepada wanita asing dan sebagian
membolehkannya jika dipercaya aman dari fitnah. Sebagian ulama memberikan
penjelasan lebih rinci berkaitan dengan perkara ini: Apabila wanita asing
tersebut adalah seorang wanita muda dan cantik maka ini tidak diperbolehkan,
akan tetapi jika kepada wanita yang sudah tua maka itu diperbolehkan.
Inilah pendapat yang
dikemukakan oleh Imam Ahmad. Shaleh berkata, “Saya bertanya kepada ayahku: “Bolehkan
memberikan salam kepada perempuan?”, maka beliau menjawab: “Adapun jika ia
seorang wanita yang tua, maka itu dibolehkan dan jika ia seorang pemudi maka
janganlah kamu berbicara dengannya”.[1]
Ibnul Qayyim memberi
klarifikasi seputar permasalahan ini, yaitu memberi salam kepada wanita yang
telah tua, wanita-wanita mahram dan selain mereka dan inilah pendapat yang
terpilih. Sementara alasan larangan sudah jelas, yaitu untuk menutupi
jalan-jalan yang akan mengarahkan kepada perbuatan maksiat dan dikhawatirkan
terjadinya fitnah”.[2]
Sedangkan yang diriwayatkan dari sahabat
semuanya terindikasi aman dari fitnah.
Misalnya pada hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazm dari bapaknya dari Sahl dia berkata, “ …
adalah seorang wanita yang mengirimkan barang dagangannya – korma di Madinah -, maka
dia membawa umbi-umbian dan menaruhnya
disebuah bejana dan mengumpulkan biji-bijian dari gandum. Apabila kami telah
selesai mengerjakan shalat jum’at maka kami berpaling pulang dan mengucapkan
salam kepadanya. Dan wanita tersebut menyodorkan kepada kami – diantara barang
dagangannya - dan kamipun senang dengan hal itu lalu kami tidaklah tidur siang
dan makan siang kecuali shalat Jum’at”.[3]
10. Disunnahkan memberi salam kepada
anak-anak kecil.
Hal ini dalam rangka
mengajari dan melatih mereka sejak dini tentang adab-adab syar’I, dan yang
melakukannya telah meneladani Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu telah mengabarkan kepada
kami, beliau mengatakan: “Aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan kami melewati anak-anak
yang sedang bermain kemudian beliau mengucapkan salam kepada mereka”.[4]
Ucapan salam kepada anak
kecil akan menuntun jiwa seseorang kepada sifat tawadhu’ dan kelembutan dalam
menghadapi anak-anak.
Masalah : Apabila seorang yang telah baligh
(dewasa) mengucapkan salam kepada anak kecil atau sebaliknya apakah hukumnya
wajib untuk menjawab salam?
Jawab : Apabila seorang laki-laki dewasa
memberikan salam kepada anak-anak, maka bukan suatu kewajiban bagi anak-anak
untuk menjawab salamnya dikarenakan anak kecil bukan orang yang terkena
kewajiban. Berbeda jika seorang anak kecil memberi salam kepada seorang yang
baligh, maka wajib bagi orang yang telah dewasa untuk menjawab salam dari anak
yang masih kecil dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.[5]
11. Memberikan salam kepada orang
yang terjaga dan disekitarnya ada orang yang sedang tidur.
Hendaknya orang yang memberikan salam untuk merendahkan
suaranya sebatas untuk didengar oleh yang terjaga dan tidak sampai membengunkan
orang yang sedang tidur. Hal ini berdasarkan hadits Miqdad bin Al-Aswad radhiallahu
‘anhu dan pada hadits tersebut, beliau berkata: “ … Setelah kami memerah susu
dan setiap orang dari kami meminum bagian mereka masing-masing dan kami
memberikan bagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau – Miqdad –berkata:
“Lalu beliau datang diwaktu malam dan mengucapkan salam tanpa membangunkan yang
sedang tidur dan hendaklah memperdengarkan salamnya kepada yang tidak tidur …”[6]
Pada hadits ini terdapat
adab Nabawiyah yang sangat tinggi dimana beliau memperhatikan keadaan orang yang sedang tidur agar tidak
terganggu tidurnya dan pada saat yang bersamaan beliau juga tidak melewatkan
keutamaan salam !.
12. Dilarang mengucapakan salam
kepada ahli Kitab.
Kita telah dilarang
melalui lisan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah untuk memulai
mengucapkan salam kepada kepada ahli kitab, beliau bersabda: “Janganlah kalian memulai
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani apabila kalian bertemu dengan salah
seorang diantara mereka dijalanan maka desaklah dia kebagian jalan yang lebih
sempit”.[7] Setelah larangan yang jelas ini tidak
seorangpun diperkenankan memberi komentar.
Masalah : Apabila kita membutuhkan mereka
apakah diperbolehkan memberikan salam kepada Ahli Kitab ?
Jawab : Hadis diatas telah jelas menunjukkan
larangan mengucapkan salam kepada mereka, akan tetapi jika hal itu sangat
dibutuhkan maka hendaklah menyapa mereka selain dengan ucapan salam, mungkin
dengan mengucapkan selamat pagi, selamat sore dan lainnya.
Ibnu Muflih mengatakan Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “
Apabila dia menyapanya dengan selain ucapan salam yang membuat mereka senang,
maka ini tidaklah mengapa.[8]
An-Nawawi berkata, “Abu
Said – Yakni Al-Mutawalli – berkata: “Apabila seseorang berkeinginan untuk
mengucapkan salam kepada seorang kafir dzimmi, dia boleh melakukannya selain
ucapansalam, dapat dilakukannya dengan mengatakan : Hadaakallah – semoga
Allah memberimu petunjuk – atau An’amallahu shabaahaka - semoga Allah
memberikan kenikmatan kepadamu dipagi hari ini -. Saya berkata ( An-Nawawi ): “
Pendapat yangdiutarakan oleh Abu Said tidak mengapa baginya jika diperlukan, dengan
mengatakan: - shubihta bil-khair -semoga pagi anda baik, atau – as-sa’adah - pagi yang
tenang atau – al-‘afiyah - dengan kesehatan atau – as-surur- semoga
Allah menggembirakan kamu pada pagi ini atau mengatakan semoga Allah memberikan
kesenangan dan nikmat padamu pada pagi hari ini atau dengan mengatakan yang
lainnya yang semisal dengan ini.
Adapun jika tidak diperlukan,
pendapat yang terpilih untuk tidak mengucapkan sesuatu kepadanya. Karena hal
itu akan membuat ia senang dan menampakkan sikap persahabatan, sedangkan kita
diperintahkan untuk bersikap dan berbicara tegas kepada mereka dan melarang
kita untuk bergaul dan menampakkannya. Wallahu a’lam.[9]
13. Menjawab salam kepada ahli Kitab
dengan mengucapkan Wa’alaikum
Diterangkan pada hadits
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Apabila seorang ahli kitab memberikan salam kepadamu maka
jawablah dengan mengatakan wa’alaikum”.[10]
Hadits ini memberikan
penjelasan kepada kita tentang tata cara menjawab salam yang disampaikan oleh
Ahli kitab yakni dengan mengatakan Wa’alaikum”.
Masalah : Apabila kita mendengar ahlil kitab
mengucapkan salam kepada kita dengan mengatakan “Assalamu ’alaikum, dengan lafazh
yang jelas apakah kita harus menjawab dengan ucapan, “Wa ’alaikum, untuk
mengamalkan hadits ini atau dengan mengatakan Wa ’alaikum salam?
Jawab :
Sebagian ulama berpendapat apabila kita telah memastikan lafazh salam
tersebut dan tidak diragukan lagi, maka sepatutnya bagi kita untuk memjawab
salam tersebut. Mereka berpendapat: Inilah makna sebenarnya dari keadilan,
sedangkan Allah memerintahkan kita untuk berbuat adil dan melakukan perbuatan
terpuji.[11]
Sedangkan menurut pendapat ulama yang lain, dan ini pendapat yang terpilih, bahwasannya, hendaklah
kita menjawab salam ahlu Kitab dengan mengamalkan hadits shahih dan yang jelas
dengan jawaban: wa’alaikum.[12]
14. Bolehnya memberi salam kepada sebuah majlis yang bercampur
antara kaum muslimin dan kaum kafir.
Pembolehan ini dapat disadur dari perbuantan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Al-Bukhari dan
Muslim dan selainnya meriwayatkan: “ bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam suatu saat menungangi seekor
keledai dengan pelana yang terbuat dari beludru. Dan beliau membonceng
dibelakang beliau Usamah bin Zaid. Saat itu beliau hendak menjenguk Sa’d bin
‘Ubadah di Bani al-Haarits bin Al-Khazraj – dan kejadian tersebut sebelum
perang Badar-. Hingga beliau melintasi sebuah majlis yang bercampur antara kaum
muslimin dan kaum musyrikin para penyembah berhala dan juga kaum Yahudi. Dan
diantara mereka terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul. Dan pada majlis tersebut
juga terdapat Abdullah bin Rawahah. Dan ketika majlis tersebut terkena semburan
debu, Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan pakaian jubahnya, kemudian dia
berkata : Janganlah kalian menyebabkan kami berdebu. Lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam turun kehadapan
mereka dan mengjaak mereka untuk
beribadah hanya kepada Allah dan membacakan Al-Qur`an kepada mereka ...
al-hadits “[13]
Memulai salam kepada sekumpulan kaum yang terdapat
didalamnya kaum muslimin dan kaum kafir, disepakati pemboleannya. Demikian yang
dikatakan oleh An-Nawawi[14].
Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits yang melarang memulai salam
kepada Ahli Kitab . Karena hadits itu berkaitan apabila yang diberi salam
adalah kafir dzimmi atau kepada sekumpula Ahli Kitab. Adapun disini, majlis
tersebut terdapat kaum msulimin, olehnya itu diperbolehkan pengucapan salam
kepada suatu majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin dengan
niat salam tersebut hanya kepada kaum muslimin.
Ditanyakan
kepada Imam Ahmad rahimahullah : Kami bermualah dengan kaum Yahudi dan Nashrani
dan kami juga mendatangi kediaman mereka dan disekeliling mereka terdapat kaum
muslimin, bolehkah kami mengucapkan salam kepada mereka ? Beliau menjawab:
Boleh, dan anda meniatkan salam tersebut hanya kepada kaum muslimin[15].
An-nawawi mengatakan: “Apabila seseorang melewati sekumpulan orang yang berbaur
antara kaum muslimin atau seorang muslim dan kafir , maka sunnahnya adalah
mengucapkan salam kepada mereka dan meniatkan salam tersebut kepada kaum
muslimin atau muslim tersebut.”[16]
Masalah : Apakah ketika memberi salam kepada
sekelompok orang yang bercampur padanya muslim dan kafir dengan mengucapkan: ‘Assalamu’ala
man ittaba’al huda” - keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk -?
Jawab : “Tidak boleh mengatakan demikian
kepada sekumpulan orang yang didalamnya terdapat kaum muslimin dan kafir , akan
tertapi ucapkanlah salam kepada mereka dengan meniatkan salam tersebut untuk
kaum muslimin sebagaimana penjelasan di atas. Semakna dengan penjelasan ini, sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Utsaimin :”Apabila kaum Muslimin dan Nashrani berkumpul,
hendaklah mengucapkan salam “Assalamu ’alaikum” dengan maksud untuk kaum
musliminnya[17]
15. Boleh memberikan salam dengan
isyarat karena udzur.
Pada asalnya memberikan
salam dengan isyarat adalah terlarang, dikarenakan hal itu termasuk kebiasaan
dari ahlul kitab. Sedangkan kita telah diperintahkan untuk menyelisihi mereka
dan tidak bertasyabuh – menyerupai- dengan mereka.
At-Tirmidzi telah
mengeluarkan sebuah riwayat hadits tentang larangan memberi salam hanya dengan
isyarat, karena itu merupakan syiar dari ahlul Kitab. At-Tirmidzi menghukumi
hadits ini sebagai hadits yang gharib.
Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata pula tentang hadits ini, pada sanadnya terdapat kelemahan, akan tetapi
an-Nasaa`i meriwayat sebuah hadits dengan sanad yang jayyid dari Jabir secara
marfu’ : “ Janganlah kalian memberikan salam dengan caranya orang Yahudi,
dikarenakan salam mereka dengan isyarat kepala dan telapak tangan serta dengan isyarat”.[18]
Namun hadits ini terbantahkan dengan
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Yaziid, beliau berkata: “Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melambaikan tangannya kepada wanita sambil menyampaikan
salam”.[19]
Akan tetapi hadits ini
dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil pengucapan salam. An-Nawawi
mengatakan, setelah menyebutkan hadits At-Tirmidzi: “ Hadits ini
kemungkinannya, bahwa Nbai Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatukan antara lafazh salam dengan isyarat
beliau dengan tangan. Dan yang menguatkan hal ini , riwayat Abu Ad-Darda` pada
hadits ini, dan beliau mengatakan pada riwayatnya: “ Dan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengucapkan salam
kepada kami “[20]
[21]
Al-Hafidz mengatakan : “ Larangan mengucapkan salam
dengan memakai isyarat berlaku kusus bagi yang mampu untuk melafazhkan salam
secara indera dan syara’. Jika tidak maka mengucapkan salam dengan isyarat
disyariatkan bagi seseorang yang sibuk
dengan suatu kesibukan yang menghalanginya dari pengucapan lafazh
jawaban salam, seperti seorang yang tengah shalat, seorang yang jauh ataukah
seseorang yang busi demikian pula bagi seseorang yang tuli “[22]
[1] Al-Adab Asy-Syar’iyah
(1/352)
[2] Zaad Al-Maad
(2 / 411 - 412)
[3] HR.
Al-Bukhari (6248)
[4] HR.
Al-Bukhari (6147) dan Muslim (2168) dan lafazh hadits diatas adalah lafazh
beliau.
[5] Syarh Shahih
Muslim oleh An-Nawawi Jilid 7 bab 13 hal.123 dan Fathul Baari (11/35)
[6] HR. Muslim
(2055) dan ini bagian dari hadits yang sangat panjang.
[7] HR. Muslim
no.2167
[8] Al-Adab Asy-Syar’iyah 1 / 391 )
[9] Al-Adzkar hal.362-367
[10] HR. Bukhari
(6258) dan Muslim (2163)
[11] Ahkam Ahli Dzimmah
(1/345-346) Ramadi lin-Nasyri, cetakan pertama tahun 1418H, dan lihat fatawa al
aqidah oleh ibnu ‘Utsaimin hal.235-236. Dan As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al- Albani (2/327-330).
[12] Lihat Fatawa Al-Lajnah
ad-Daa`imah (3/312) fatwa no.11123.
[13] HR. Al-Bukhari (6254 ) dan Muslim ( 1798 )
[14] Syarh Shahih Muslim jild 6 ( 12 / 125 )
[15] Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 1 / 390 )
[16] Al-Adzkar karya An-Nawawi hal. 367
[17] Fatawa
Al-Aqidah hal 237. cetakan Daar Al-Jiil.
[18] Fathul Baari
( 11/16 )
[19] HR. At-Tirmidzi
(2697) dan lafazh ini adalah lafazh
riwayat beliau, Ahmad (27014) dan Ibnu Majah (3701), Ad-Darimi (2637), dan
Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (1003, 1047) dan Al-Albaniy berkata:
hadits shahih.
[20] HR. Abu Daud
( 5204 )
[21] Al-Adzkar hal. 356
[22] Fathul Baari ( 11 / 16 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar