Jumat, 17 Agustus 2012

Adab-Adab Memberikan Salam Part 3


9. Mengucapkan salam kepada wanita yang bukan mahram atau wanita asing.
Sebagian ulama melarang seorang laki-laki memberikan salam kepada wanita asing dan sebagian membolehkannya jika dipercaya aman dari fitnah. Sebagian ulama memberikan penjelasan lebih rinci berkaitan dengan perkara ini: Apabila wanita asing tersebut adalah seorang wanita muda dan cantik maka ini tidak diperbolehkan, akan tetapi jika kepada wanita yang sudah tua maka itu diperbolehkan.
Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Shaleh berkata, “Saya bertanya kepada ayahku: “Bolehkan memberikan salam kepada perempuan?”, maka beliau menjawab: “Adapun jika ia seorang wanita yang tua, maka itu dibolehkan dan jika ia seorang pemudi maka janganlah kamu berbicara dengannya”.[1]
Ibnul Qayyim memberi klarifikasi seputar permasalahan ini, yaitu memberi salam kepada wanita yang telah tua, wanita-wanita mahram dan selain mereka dan inilah pendapat yang terpilih. Sementara alasan larangan sudah jelas, yaitu untuk menutupi jalan-jalan yang akan mengarahkan kepada perbuatan maksiat dan dikhawatirkan terjadinya fitnah”.[2]  Sedangkan yang diriwayatkan dari sahabat semuanya terindikasi aman dari fitnah.
Misalnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazm dari bapaknya dari Sahl dia berkata, “ … adalah seorang wanita yang mengirimkan  barang dagangannya – korma di Madinah -, maka dia  membawa umbi-umbian dan menaruhnya disebuah bejana dan mengumpulkan biji-bijian dari gandum. Apabila kami telah selesai mengerjakan shalat jum’at maka kami berpaling pulang dan mengucapkan salam kepadanya. Dan wanita tersebut menyodorkan kepada kami – diantara barang dagangannya - dan kamipun senang dengan hal itu lalu kami tidaklah tidur siang dan makan siang kecuali shalat Jum’at”.[3]

10. Disunnahkan memberi salam kepada anak-anak kecil.
Hal ini dalam rangka mengajari dan melatih mereka sejak dini tentang adab-adab syar’I, dan yang melakukannya telah meneladani  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu telah mengabarkan kepada kami, beliau mengatakan: “Aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami melewati  anak-anak yang sedang bermain kemudian beliau mengucapkan salam kepada mereka”.[4]
Ucapan salam kepada anak kecil akan menuntun jiwa seseorang kepada sifat tawadhu’ dan kelembutan dalam menghadapi anak-anak.
Masalah : Apabila seorang yang telah baligh (dewasa) mengucapkan salam kepada anak kecil atau sebaliknya apakah hukumnya wajib untuk menjawab salam?
Jawab : Apabila seorang laki-laki dewasa memberikan salam kepada anak-anak, maka bukan suatu kewajiban bagi anak-anak untuk menjawab salamnya dikarenakan anak kecil bukan orang yang terkena kewajiban. Berbeda jika seorang anak kecil memberi salam kepada seorang yang baligh, maka wajib bagi orang yang telah dewasa untuk menjawab salam dari anak yang masih kecil dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.[5]

11. Memberikan salam kepada orang yang terjaga dan disekitarnya ada orang yang sedang tidur.
Hendaknya orang  yang memberikan salam untuk merendahkan suaranya sebatas untuk didengar oleh yang terjaga dan tidak sampai membengunkan orang yang sedang tidur. Hal ini berdasarkan hadits Miqdad bin Al-Aswad radhiallahu ‘anhu dan pada hadits tersebut, beliau berkata: “ … Setelah kami memerah susu dan setiap orang dari kami meminum bagian mereka masing-masing dan kami memberikan bagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau – Miqdad –berkata: “Lalu beliau datang diwaktu malam dan mengucapkan salam tanpa membangunkan yang sedang tidur dan hendaklah memperdengarkan salamnya kepada yang tidak tidur …”[6]
Pada hadits ini terdapat adab Nabawiyah yang sangat tinggi dimana beliau memperhatikan  keadaan orang yang sedang tidur agar tidak terganggu tidurnya dan pada saat yang bersamaan beliau juga tidak melewatkan keutamaan salam !.

12. Dilarang mengucapakan salam kepada ahli Kitab.
Kita telah dilarang melalui lisan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah untuk memulai mengucapkan salam kepada kepada ahli kitab, beliau bersabda: “Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani apabila kalian bertemu dengan salah seorang diantara mereka dijalanan maka desaklah dia kebagian jalan yang lebih sempit”.[7]  Setelah larangan yang jelas ini tidak seorangpun diperkenankan memberi komentar.
Masalah : Apabila kita membutuhkan mereka apakah diperbolehkan memberikan salam kepada Ahli Kitab ?
Jawab : Hadis diatas telah jelas menunjukkan larangan mengucapkan salam kepada mereka, akan tetapi jika hal itu sangat dibutuhkan maka hendaklah menyapa mereka selain dengan ucapan salam, mungkin dengan mengucapkan selamat pagi, selamat sore dan lainnya.
Ibnu Muflih mengatakan Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Apabila dia menyapanya dengan selain ucapan salam yang membuat mereka senang, maka ini tidaklah mengapa.[8]
An-Nawawi berkata, “Abu Said – Yakni Al-Mutawalli – berkata: “Apabila seseorang berkeinginan untuk mengucapkan salam kepada seorang kafir dzimmi, dia boleh melakukannya selain ucapansalam, dapat dilakukannya dengan mengatakan : Hadaakallah – semoga Allah memberimu petunjuk – atau An’amallahu shabaahaka - semoga Allah memberikan kenikmatan kepadamu dipagi hari ini -. Saya berkata ( An-Nawawi ): “ Pendapat yangdiutarakan oleh Abu Said tidak mengapa baginya jika diperlukan, dengan mengatakan: - shubihta bil-khair -semoga pagi anda  baik, atau – as-sa’adah - pagi yang tenang atau – al-‘afiyah - dengan kesehatan atau – as-surur- semoga Allah menggembirakan kamu pada pagi ini atau mengatakan semoga Allah memberikan kesenangan dan nikmat padamu pada pagi hari ini atau dengan mengatakan yang lainnya yang semisal dengan ini.
Adapun jika tidak diperlukan, pendapat yang terpilih untuk tidak mengucapkan sesuatu kepadanya. Karena hal itu akan membuat ia senang dan menampakkan sikap persahabatan, sedangkan kita diperintahkan untuk bersikap dan berbicara tegas kepada mereka dan melarang kita untuk bergaul dan menampakkannya. Wallahu a’lam.[9]

13. Menjawab salam kepada ahli Kitab dengan mengucapkan Wa’alaikum
Diterangkan pada hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang ahli kitab memberikan salam kepadamu maka jawablah dengan mengatakan wa’alaikum”.[10]
Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita tentang tata cara menjawab salam yang disampaikan oleh Ahli kitab yakni dengan mengatakan Wa’alaikum”.
Masalah : Apabila kita mendengar ahlil kitab mengucapkan salam kepada kita dengan mengatakan “Assalamu ’alaikum, dengan lafazh yang jelas apakah kita harus menjawab dengan ucapan, “Wa ’alaikum, untuk mengamalkan hadits ini atau dengan mengatakan Wa ’alaikum salam?
Jawab :  Sebagian ulama berpendapat apabila kita telah memastikan lafazh salam tersebut dan tidak diragukan lagi, maka sepatutnya bagi kita untuk memjawab salam tersebut. Mereka berpendapat: Inilah makna sebenarnya dari keadilan, sedangkan Allah memerintahkan kita untuk berbuat adil dan melakukan perbuatan terpuji.[11] Sedangkan menurut pendapat ulama yang lain, dan ini  pendapat yang terpilih, bahwasannya, hendaklah kita menjawab salam ahlu Kitab dengan mengamalkan hadits shahih dan yang jelas dengan jawaban: wa’alaikum.[12]

14. Bolehnya memberi salam kepada sebuah majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum kafir.
Pembolehan ini dapat disadur dari perbuantan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  . Al-Bukhari dan Muslim dan selainnya meriwayatkan: “ bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  suatu saat menungangi seekor keledai dengan pelana yang terbuat dari beludru. Dan beliau membonceng dibelakang beliau Usamah bin Zaid. Saat itu beliau hendak menjenguk Sa’d bin ‘Ubadah di Bani al-Haarits bin Al-Khazraj – dan kejadian tersebut sebelum perang Badar-. Hingga beliau melintasi sebuah majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin para penyembah berhala dan juga kaum Yahudi. Dan diantara mereka terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul. Dan pada majlis tersebut juga terdapat Abdullah bin Rawahah. Dan ketika majlis tersebut terkena semburan debu, Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan pakaian jubahnya, kemudian dia berkata : Janganlah kalian menyebabkan kami berdebu. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  turun kehadapan mereka  dan mengjaak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah dan membacakan Al-Qur`an kepada mereka ... al-hadits “[13]
Memulai salam kepada sekumpulan kaum yang terdapat didalamnya kaum muslimin dan kaum kafir, disepakati pemboleannya. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi[14]. Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits yang melarang memulai salam kepada Ahli Kitab . Karena hadits itu berkaitan apabila yang diberi salam adalah kafir dzimmi atau kepada sekumpula Ahli Kitab. Adapun disini, majlis tersebut terdapat kaum msulimin, olehnya itu diperbolehkan pengucapan salam kepada suatu majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin dengan niat salam tersebut hanya kepada kaum muslimin.
            Ditanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullah : Kami bermualah dengan kaum Yahudi dan Nashrani dan kami juga mendatangi kediaman mereka dan disekeliling mereka terdapat kaum muslimin, bolehkah kami mengucapkan salam kepada mereka ? Beliau menjawab: Boleh, dan anda meniatkan salam tersebut hanya kepada kaum muslimin[15]. An-nawawi mengatakan: “Apabila seseorang melewati sekumpulan orang yang berbaur antara kaum muslimin atau seorang muslim dan kafir , maka sunnahnya adalah mengucapkan salam kepada mereka dan meniatkan salam tersebut kepada kaum muslimin atau muslim tersebut.”[16]
Masalah : Apakah ketika memberi salam kepada sekelompok orang yang bercampur padanya muslim dan kafir dengan mengucapkan: ‘Assalamu’ala man ittaba’al huda” - keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk -?
Jawab : “Tidak boleh mengatakan demikian kepada sekumpulan orang yang didalamnya terdapat kaum muslimin dan kafir , akan tertapi ucapkanlah salam kepada mereka dengan meniatkan salam tersebut untuk kaum muslimin sebagaimana penjelasan di atas. Semakna  dengan penjelasan ini, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Utsaimin :”Apabila kaum Muslimin dan Nashrani berkumpul, hendaklah mengucapkan salam “Assalamu ’alaikum” dengan maksud untuk kaum musliminnya[17]

15. Boleh memberikan salam dengan isyarat karena udzur.
Pada asalnya memberikan salam dengan isyarat adalah terlarang, dikarenakan hal itu termasuk kebiasaan dari ahlul kitab. Sedangkan kita telah diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak bertasyabuh – menyerupai- dengan mereka.
At-Tirmidzi telah mengeluarkan sebuah riwayat hadits tentang larangan memberi salam hanya dengan isyarat, karena itu merupakan syiar dari ahlul Kitab. At-Tirmidzi menghukumi hadits ini sebagai hadits yang gharib.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata pula tentang hadits ini, pada sanadnya terdapat kelemahan, akan tetapi an-Nasaa`i meriwayat sebuah hadits dengan sanad yang jayyid dari Jabir secara marfu’ : “ Janganlah kalian memberikan salam dengan caranya orang Yahudi, dikarenakan salam mereka dengan isyarat kepala dan telapak tangan serta dengan isyarat”.[18]
Namun hadits ini terbantahkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Yaziid, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambaikan tangannya kepada wanita sambil menyampaikan salam”.[19]
Akan tetapi hadits ini dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil pengucapan salam. An-Nawawi mengatakan, setelah menyebutkan hadits At-Tirmidzi: “ Hadits ini kemungkinannya, bahwa Nbai Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyatukan antara lafazh salam dengan isyarat beliau dengan tangan. Dan yang menguatkan hal ini , riwayat Abu Ad-Darda` pada hadits ini, dan beliau mengatakan pada riwayatnya: “ Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengucapkan salam kepada kami “[20] [21]
Al-Hafidz mengatakan : “ Larangan mengucapkan salam dengan memakai isyarat berlaku kusus bagi yang mampu untuk melafazhkan salam secara indera dan syara’. Jika tidak maka mengucapkan salam dengan isyarat disyariatkan bagi seseorang yang sibuk  dengan suatu kesibukan yang menghalanginya dari pengucapan lafazh jawaban salam, seperti seorang yang tengah shalat, seorang yang jauh ataukah seseorang yang busi demikian pula bagi seseorang yang tuli “[22]


[1] Al-Adab Asy-Syar’iyah (1/352)
[2] Zaad Al-Maad (2 / 411 - 412)
[3] HR. Al-Bukhari (6248)
[4] HR. Al-Bukhari (6147) dan Muslim (2168) dan lafazh hadits diatas adalah lafazh beliau.
[5] Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi Jilid 7 bab 13 hal.123 dan Fathul Baari (11/35)
[6] HR. Muslim (2055) dan ini bagian dari hadits yang sangat panjang.
[7] HR. Muslim no.2167
[8]  Al-Adab Asy-Syar’iyah 1 / 391 )
[9] Al-Adzkar hal.362-367
[10] HR. Bukhari (6258) dan Muslim (2163)
[11] Ahkam Ahli Dzimmah (1/345-346) Ramadi lin-Nasyri, cetakan pertama tahun 1418H, dan lihat fatawa al aqidah oleh ibnu ‘Utsaimin hal.235-236. Dan As-Silsilah  Ash-Shahihah oleh Al- Albani (2/327-330).
[12] Lihat Fatawa Al-Lajnah ad-Daa`imah (3/312) fatwa no.11123.
[13]  HR. Al-Bukhari (6254 ) dan Muslim ( 1798 )
[14]  Syarh Shahih Muslim jild 6 ( 12 / 125 )
[15]  Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 1 / 390 )
[16]  Al-Adzkar karya An-Nawawi hal. 367
[17] Fatawa Al-Aqidah hal 237. cetakan Daar Al-Jiil.
[18] Fathul Baari ( 11/16 )
[19] HR. At-Tirmidzi (2697) dan lafazh  ini adalah lafazh riwayat beliau, Ahmad (27014) dan Ibnu Majah (3701), Ad-Darimi (2637), dan Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (1003, 1047) dan Al-Albaniy berkata: hadits shahih.
[20] HR. Abu Daud ( 5204 )
[21]  Al-Adzkar hal. 356
[22]  Fathul Baari ( 11 / 16 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar